Reportase Webinar Kebijakan Penanggulangan Penyakit Jantung di Era JKN

Pada Jum’at (28 Mei 2021) telah diselenggarakan webinar tentang “Kebijakan Penanggulangan Penyakit Jantung di Era JKN).” Webinar ini diselenggarakan oleh PKMK FK-KMK UGM didukung oleh WHO Indonesia. Webinar berlangsung pada pukul 13:00-15:00 WIB di Gedung Litbang, FK-KMK UGM dan disiarkan secara langsung melalui Zoom Meeting serta YouTube Live Streaming.

Tujuan dari webinar ini adalah untuk menyampaikan inisiasi para pemangku kepentingan dalam rangka pengembangan dan perbaikan kebijakan jantung di Indonesia. Narasumber pada webinar ini adalah M. Faozi Kurniawan, SE. Akt., MPH (PKMK FK-KMK UGM) dan dr. Anggoro Budi Hartopo, M.Sc., Ph.D, Sp.PD, Sp.JP (Departemen Kardiologi FK-KMK UGM/RS Sardjito). Pembahas dalam webinar ini adalah Dirjen Pelayanan Kesehatan (Kemenkes RI), Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Kemenkes RI), RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, serta Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Diskusi pada webinar dipandu oleh moderator yaitu Relmbuss Biljers Fanda, MPH.

Pengantar Kegiatan

Oleh: Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

Laksono menyampaikan pengantar bahwa kegiatan ini merupakan awal dari proses penanggulangan masalah jantung di era JKN agar bisa dianalisis, sehingga harapannya akan ada berbagai rekomendasi kebijakan yang bisa disampaikan ke Kementerian Kesehatan Republik Indonesia serta pemerintah daerah.

Materi 1: Pembiayaan Penyakit Jantung

Oleh: M. Faozi Kurniawan, SE. Akt., MPH

ojiFaozi menyampaikan materi tentang pembiayaan penyakit jantung di Indonesia serta penguatan kebijakan pelayanan jantung. Indonesia memiliki tingkat kematian akibat CVD yang semakin meningkat. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menjelaskan bahwa prevalensi merupakan angka kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah semakin meningkat dari tahun ke tahun. Setidaknya ada 15 dari 1000 orang, atau sekitar 2.784.064 individu di Indonesia menderita penyakit jantung. Terdapat 11 provinsi di Indonesia dengan tingkat prevalensi di atas 1,5%. Namun, jumlah ketersediaan rumah sakit sebagian besar ada di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera yang memiliki populasi penduduk lebih besar, kondisi geografis relatif mudah, serta investasi lebih terjangkau.

Sebagai contoh dari data sampel BPJS Kesehatan 2015-2018, terlihat bahwa banyak orang dari daerah di luar Pulau Jawa yang melakukan rujukan ke rumah sakit di Pulau Jawa. Biaya pelayanan Jantung di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta lebih tinggi daripada provinsi lainnya. Segmen kepesertaan yang banyak mengeluarkan biaya yaitu PPU, PBPU, dan PBI APBN. Penguatan kebijakan pelayanan jantung perlu memperhatikan siapa sasarannya. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah melakukan penguatan promotif dan preventif, screening jantung, memberikan sosialisasi masif ke masyarakat, menciptakan kawasan tanpa rokok, serta menyediakan pengobatan dengan prosedur yang jelas.

Materi 2: Produksi dan Distribusi Dokter Spesialis Jantung

dr. Anggoro Budi Hartopo, M.Sc., Ph.D, Sp.PD, Sp.JP

Anggoro menyampaikan materi tentang produksi dan distribusi dokter spesialis jantung. Sebagai informasi, sebanyak 86% kematian secara global tahun 2016 didominasi oleh penyakit tidak menular, salah satunya adalah kardiovaskuler. Kematian akibat penyakit kardiovaskuler diperkirakan mencapai 23,3 juta pada 2030. Terdapat ketimpangan ketersediaan dokter spesialis penyakit jantung-pembuluh darah, dengan jumlah terbanyak ada di DKI Jakarta.

Saat ini terdapat 751 calon Sp.JP dan sudah ada 1.196 orang Sp.JP yang tersebar di seluruh Indonesia. Produksi Sp.JP harus selaras dengan penyebaran Sp.JP, namun masih ada ketidakmerataan pelayanan di daerah. Kebijakan jangka pendek yang dapat dilakukan yaitu melakukan standarisasi penyebaran Sp.JP, penerapan kebijakan bersama tentang penerimaan PPDS JP dan penempatan, serta meneruskan program kemitraan, LPDP dan TUBEL Kemenkes untuk Sp.JP. Sedangkan untuk kebijakan jangka panjang yaitu memperbanyak beasiswa, pembukaan prodi jantung yang lebih merata, penetapan wilayah binaan, serta meningkatkan fasilitas termasuk insentif untuk alat-alat Sp.JP di daerah.

Pembahasan 1

Oleh: Dr. dr. Yout Savithri, MARS

youtYout menyampaikan bahwa 10 kasus terbanyak pada kode INACBGs mencapai jumlah ratusan ribu kasus. Ada beberapa kompetensi fasyankes yang perlu diperhatikan sehingga bisa dibuat standar pedoman cath lab, harapannya bisa menekan angka kematian yang diakibatkan oleh penyakit jantung. Terkait dengan SDM, pembentukan prodi khusus sudah dilakukan serta penentuan standar SDM untuk memberikan pelayanan. Masih ada beberapa hambatan, misal terbatasnya SDM, alat kesehatan di daerah terpencil, tenaga kesehatan yang masih terkonsentrasi di kota besar, kurangnya peningkatan kapasitas kompetensi SDM dan rumah sakit, antrian pasien yang panjang karena pola rujukan yang belum optimal, serta perlunya memperhatikan rencana strategis bisnis rumah sakit untuk pengembangan kompetensi rumah sakit.

Pembahasan 2

Oleh: dr. Cut Putri Arianie, M.H.Kes

cutpCut menyampaikan harapannya terhadap fakultas yang terkait kesehatan masyarakat terkait upaya promotif dan preventif yang direkomendasikan. Kemudian terkait distribusi dan pengadaan Sp.JP, harapannya kolegium dapat memproduksi para dokter Sp.JP dengan peminatan sosial. Data Riskesdas terkait beban penyakit tidak menular (PTM) menunjukkan bahwa selama 2014-2020 (BPJS) menghabiskan biaya 118,16 triliun untuk PTM.

Pada masa pandemi ini, PTM meningkatkan jumlah mortalitas dan morbiditas, serta meningkatkan penundaan vaksinasi. Kemenkes RI menerapkan kebijakan P2PTM (dalam Permenkes No. 71/2025 tentang penanggulangan PTM), yaitu dengan melakukan promosi kesehatan, deteksi dini, perlindungan khusus, serta penanganan kasus. Regulasi perlu dikuatkan, kepatuhan masyarakat perlu ditingkatkan, maka harapannya insiden PTM akan semakin berkurang.

Pembahasan 3

Oleh: Dr. dr. Isman Firdaus, FIHA, FESC, FACC, FSCAI

Isman memulai pembahasan dengan menjelaskan pemetaan pelayanan kardiovaskuler di Indonesia, dengan adanya 1.413 dokter Sp.JP di Indonesia namun penyebarannya belum merata. Pemetaan layanan faskes kardiovaskuler terbagi dalam 5 kriteria warna yang berbeda, yaitu merah, ungu, hijau, kuning, dan biru dengan rincian fasilitas, strategi, dan target yang berbeda-beda (dapat dilihat melalui gambar di bawah ini).

Pembahasan 4

Oleh: Nur Azizah, SKM, M.Kes

nuraAzizah menyampaikan tanggapannya tentang pembiayaan penyakit jantung. Menurut Riskesdas 2018, prevalensi penyakit jantung di Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah 0,7%. Kasus tertinggi di NTT adalah hipertensi, sedangkan penyakit jantung ada di posisi ke-6. Penyebaran SDM Sp.JP di NTT masih sangat terbatas, oleh sebab itu diagnosa yang diperoleh dari 22 kabupaten/kota di NTT itu dilakukan oleh dokter umum, sehingga kebanyakan mengarah ke hipertensi dan diabetes melitus. Harapan ke depan adalah meningkatkan jumlah SDM yang berkompetensi di bidang penyakit jantung dan pemerataan pelayanan.

Penutup

Diskusi dilaksanakan dengan dipandu oleh moderator. Peserta webinar terlibat secara aktif dalam memberikan pertanyaan dan/atau melakukan diskusi dengan narasumber. Kegiatan webinar diakhiri dengan penyampaian kesimpulan oleh moderator diskusi, bahwa program program pengendalian penyakit jantung itu sangat bergantung terhadap besar populasi yang ada, misal populasi orang sehat, populasi orang berisiko, maupun populasi orang dengan PTM.

Reporter: Rokhana Diyah Rusdiati

YouTube Live Streaming

 

 

Reportase Pertemuan ke-6 Evaluasi Delapan Sasaran Peta Jalan JKN Provinsi Sulawesi Selatan

Forum Aspirasi Akademisi dan Pemerintah Daerah

30 April 2021

Sesi 1: Dr. Irwandy, SKM., MSc.PH., M.Kes – Akademisi UNHAS

Dalam paparannya mengenai Evaluasi Delapan Sasaran Peta Jalan JKN di Provinsi Sulawesi Selatan, Irwandy menyampaikan beberapa aspek yaitu tata kelola, pemerataan layanan kesehatan dan mutu layanan. Pada aspek tata kelola, ada beberapa masalah yang disoroti seperti tunggakan iuran peserta JKN, kemudian pencegahan kecurangan program JKN dan keterbukaan akses data.

Peserta yang tercatat tidak aktif dalam partisipasi iuran sebesar 10,5% yang mana lebih kecil daripada angka nasional sebesar 11,6%. Segmen yang paling banyak menunggak adalah PBPU yaitu 54,6%. Prosentase jika diamati ini dari tahun ke tahun terus meningkat dari data Sismonev DJSN 2016 hingga 2021. Meskipun demikian, tren di Provinsi Sulawesi Selatan masih di bawah angka nasional.

Tingkat kolektibilitas dari seluruh segmen mencapai 86,95%. Kemudian untuk aspek pencegahan kecurangan, setelah diteliti pada tahun 2019 menunjukkan fakta bahwa tim anti fraud belum terbentuk secara menyeluruh pada setiap faskes di Provinsi Sulawesi Selatan, sosialisasi regulasi mengenai anti-fraud juga belum berjalan optimal, belum ada regulasi yang dibentuk untuk tingkat daerah dan program anti-fraud seperti pembangunan sistem pelaporan, investigasi dan pemberian sanksi belum dijalankan. Lalu dalam keterbukaan akses data menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan belum menggunakan data - data BPJS Kesehatan untuk perencanan daerah yang disebabkan karena akses data yang terbatas.

Sasaran berikutnya yakni ekuitas dalam bentuk cakupan kepesertaan per Februari 2021 menyatakan bahwa ada 92,44% jiwa yang menjadi peserta. Angka ini masih jauh dari target yang diharapkan lebih dari 95%. Tren cakupan kepesertaan di Provinsi Sulawesi Selatan setiap tahunnya naik sejak 2014, namun pada 2020 mengalami penurunan. Hal ini menjadi pertanyaan, apakah penurunan terjadi dikarenakan dampak pandemi COVID-19?. Irwandy juga menyoroti di 11 kabupaten bisa memiliki capaian hingga 95% namun wilayah lainnya belum mencapai, lalu di beberapa daerah angka cakupannya bisa lebih dari 100%. Hal ini menjadi pertanyaan, apakah terdapat isu akurasi dan validasi data kepesertaan?.

Sasaran berikutnya, yaitu mengenai pemerataan akses dan pemanfaatan. Setelah ditelisik, dalam aspek ini terdapat isu adverse selection dan akses yang tidak merata. Hal ini dibuktikan oleh jumlah peserta PBI yang lebih banyak dibanding Non-PBI namun dari segi pemanfaatan peserta Non-PBI yang lebih banyak memanfaatkan layanan. Sebaran faskes yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan per 2018 adalah sebesar 93,5% untuk FKRTL, kemudian untuk FKTP adalah senilai 89,6%. Sebesar 19% kondisi Puskesmas dinyatakan rusak, dengan kategori rusak ringan, sedang atau berat. Kondisi Puskesmas pembantu yang rusak ada 34%, dan akses ke Puskesmas yang belum aspal/beton terdapat sekitar 12%.

Kesimpulan yang didapat dari materi ini pada tata kelola diperlukan upaya yang giat untuk mengatasi tunggakan dan mencegah kecurangan pada penyelenggaraan program JKN. Pada aspek keterbukaan dan akses data diperlukan peningkatan, begitu juga dengan aspek cakupan kepesertaan yang masih perlu upaya yang lebih untuk meningkatkan hingga target yang sesuai UHC. Pemerataan jumlah faskes telah tercapai, namun perlu upaya untuk meningkatkan kondisi fasilitas dan ketersediaan obat-obatan. Terakhir, dari segi mutu menurut kepuasan peserta sudah sesuai dengan target yang diharapkan.

Dr. Andy, M.Si (Kabid Pemerintahan dan Pembangunan Manusia)

Andy menjelaskan dari perspektif Bappeda, bahwa dalam RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan terdapat misi untuk memperbaiki kesehatan. Lebih khusus lagi, meningkatkan kualitas SDM secara inklusif dengan meningkatnya derajat kesehatan masyarakat. Kerjasama antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota/Kabupaten diwujudkan dalam pengobatan gratis yang terintegrasi dengan program JKN, hal ini termuat dalam Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan No. 9 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Kesehatan Gratis.

Upaya yang dilakukan untuk penyelenggaraan kesehatan gratis ini adalah dengan sharing dana sesuai dengan kapasitas fiskal masing-masing. Andy mendapatkan data dari BPJS ada sekitar 11 daerah Kota/Kabupaten yang telah mencapai UHC per bulan Maret. Daerah yang belum UHC ada 8, dan yang mendekati UHC ada 5 kabupaten. Ia juga mengamini bahwa puskesmas dan pustu yang disebutkan oleh Irwandy memang ada yang kurang layak kondisinya, begitu juga problem mengenai kualitas penyebaran SDM Kesehatan di Provinsi Sulawesi Selatan.

Sorotan berikutnya dari Andy adalah mengenai survei regional yang semestinya segera dilakukan untuk mengetahui tingkat kepuasan di daerah, karena data yang ditampilkan oleh Irwandy baru dari tingkat Nasional. Setelah survei dilaksanakan, harapannya hasil tersebut bisa membantu penyusunan dan pengambilan kebijakan kedepannya. Dalam aspek tata kelola, feedback yang diberikan adalah supaya ada rekomendasi untuk penerapan kebijakan di masa yang akan datang.

dr. H. Muhammad Ichsan Mustari, MHM (Kadinkes Prov. Sulawesi Selatan)

Ichsan mengiyakan soal isu tunggakan yang selalu berulang-ulang tidak bisa diselesaikan, hal ini berakibat dengan iuran yang menurun dan layanan tidak meningkat. Hal ini disebutkan sebagai efek domino yang saling mempengaruhi antar aspek. Ichsan memberikan rekomendasi untuk memberikan reward bagi para peserta yang taat membayar iuran, meskipun mereka tidak sakit dan menggunakan manfaat dari kepesertaan BPJS Kesehatan.

Hal ini diutarakan oleh Ichsan karena di masyarakat terdapat stigma apatis, mengapa peserta harus membayar jika tidak mendapatkan manfaatnya sama sekali. Isu mengenai persebaran SDM Kesehatan juga sama dengan yang diutarakan oleh Andy, bahwa jumlah SDM Kesehatan itu cukup namun kualitas persebarannya yang membuat tidak cukup. Diharapkan supaya ada upaya yang dibungkus dalam bentuk regulasi untuk mengatur persebaran ini, sebab jika tidak maka hukum “dimana ada gula, disitu ada semut” akan terus berjalan dan hal inilah yang membuat persebaran SDM Kesehatan tidak merata.

Saat ini Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan juga sedang menggodok peraturan bagi SDM Kesehatan untuk dapat fokus memberikan layanan di satu tempat dan melarang mereka memberikan layanan di tempat lain dalam waktu yang bersamaan. Pekerjaan rumah berikutnya bagi pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan adalah bagaimana caranya agar DAK dapat optimal yang tentu memerlukan kesepakatan bersama. Otomatis koordinasi antar lembaga perlu untuk ditingkatkan.

Mengenai mutu dan kepuasan menurut Ichsan adalah dua hal yang berbeda karena kepuasan didasarkan pada penilaian subyektif sedangkan mutu memiliki standar tertentu yang harus dicapai. Kemudian keterbukaan data ini penting untuk diterapkan untuk mengetahui efisiensi dana yang dikeluarkan oleh tertanggung yaitu Pemerintah Daerah.

dr. Beno Herman, M.A.R.S (Deputi Direksi Wilayah Sulselbartramal)

Beno menanggapi bahwa secara keilmuan data - data yang ditampilkan oleh Irwandy sudah real. Titik tekan yang krusial saat ini adalah untuk mengikuti amanah dari Perpres No. 64 tentang Kontribusi, Iuran dan Subsidi Pemerintah Daerah. Beliau juga menyampaikan bahwa ada perbedaan data yang dipaparkan oleh Irwandy dan data yang dimiliki oleh BPJS Kesehatan mengenai jumlah FKTP.

Jumlah yang dicatat oleh BPJS Kesehatan adalah sekitar 906 FKTP sementara yang ditampilkan oleh Irwandy kurang lebih 400. Tanggapan lainnya terhadap penelitian yang dilakukan oleh Irwandy adalah pada aspek tunggakan ini sebetulnya dilatarbelakangi oleh willingness to pay atau ada faktor ketidakmampuan. Mengenai pencegahan kecurangan, dari peraturan yang sudah ada di tingkat Pusat sudah ditambah lagi dengan peraturan regional yang mengharuskan tim pencegahan kecurangan ini harus ada akan tetapi hal ini belum optimal di Provinsi Sulawesi Selatan.

Kemudian, untuk aspek keterbukaan BPJS telah menyediakan dua dashboard yang sudah disampaikan hingga ke kabupaten/kota yaitu pemanfaatan JKN dan data mengenai COVID-19. Permasalahannya hingga saat ini adalah permintaan data yang dari lembaga yang tidak boleh diekspos seperti data by name by address. Data ini harus diolah terlebih dulu di pusat.

Reporter: Eurica Wijaya

Link terkait:

 

Reportase Evaluasi Delapan Sasaran Peta Jalan JKN di Provinsi Sumatera Utara

Forum Aspirasi Akademisi dan Pemerintah Daerah Dalam Upaya Meningkatkan Mutu Layanan dan Menjaga Sustainabilitas Program JKN-KIS

Jum’at, 23 April 2021

Sesi 1; Dr. Juanita, S.E., M.Kes – Akademisi USU

Juanita merupakan seorang akademisi dari Universitas Sumatera Utara yang juga menjadi mitra akademisi PKMK FK - KMK UGM dalam penelitian mengenai JKN. Dalam paparannya kali ini, ia menjelaskan mengenai Evaluasi Delapan Sasaran Peta Jalan JKN di Provinsi Sumatera Utara. Aspek pertama yang disampaikan mengenai tata kelola yang mencakup sasaran 1 dan sasaran 8. Sasaran yang pertama yaitu mengenai aksesibilitas data kepesertaan oleh Pemerintah Daerah yang meliputi data iuran Peserta JKN, data tunggakan iuran Peserta JKN dan data jumlah biaya. Juanita menemukan bahwa data yang dapat diakses oleh Pemda sejauh ini baru dari kelompok PBI.

Kemudian data tunggakan iuran peserta JKN disampaikan saat rekonsiliasi 3 bulan sekali. Data jumlah biaya kapitasi dan non kapitasi dapat diakses, begitu juga untuk klaim INA-CBGs akan tetapi belum dapat diketahui apakah data yang dapat diakses tersebut sudah digunakan untuk perencanaan atau belum. Data ini diperoleh dari hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan dan staf bagian JKN Provinsi Sumatera Utara.

Kemudian dalam sasaran ke delapan mengenai BPJS yang dikelola secara terbuka, efisien dan akuntabel didefinisikan sebagai aksesibilitas data peserta by name by address peserta JKN dari seluruh segmen bisa diakses oleh Pemda yang digunakan untuk proses perencanaan program kesehatan dan peningkatan cakupan kepesertaan JKN. Hingga saat ini, diketahui bahwa data yang dapat diakses oleh Pemda by name by address hanya untuk peserta PBI.

Selain aspek tata kelola, Juanita juga menyampaikan mengenai aspek ekuitas. Pada aspek ini terdapat sasaran 2 yaitu cakupan kepesertaan yang mencapai target Universal Health Coverage. Cakupan rerata yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara hingga 2020 mencapai 74,91% dari 100% kepesertaan. Beberapa kota dan kabupaten di Provinsi Sumatera Utara ada yang berhasil mencapai cakupan 100 persen yaitu Kota Medan, Kota Sibolga dan Kabupaten Pakpak Barat. Segmen PBI merupakan segmen yang terbesar di Kabupaten Nias Utara, Nias Selatan, Nias Barat, Nias. Kepesertaan PPU menjadi segmen yang paling besar di kota Medan dan Nias untuk wilayah paling kecil.

Aspek ekuitas juga dinilai dari paket manfaat yang setara, dalam temuannya untuk kasus jantung terdapat 9,8% dari total kunjungan yang mendapatkan layanan CVD. Kemudian pada Faskes Tingkat Lanjut terdapat 5,5% dari total kunjungan, sehingga rasio CVD per total peserta adalah 1,84% untuk FKTP dan 0,74% untuk FKTL. Berdasarkan Pergub No. 25 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Pergub Sumatera Utara No. 35 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan di Prov. Sumatera Utara menetapkan beberapa RS sebagai rujukan nasional dan regional.

Meskipun demikian ternyata RS Rujukan di regional belum memiliki sebaran dokter spesialis Jantung dan Paru dan menyediakan layanan - layanan untuk jantung. Sasaran berikutnya dalam ekuitas yaitu sasaran 4, mengenai sebaran dan jumlah faskes serta SDM Kesehatan. sebaran faskes menunjukkan bahwa di Kota Medan memiliki 36% sebaran yang merupakan prosentase tertinggi dari 33 Kabupaten/Kota.

Aspek terakhir yang disampaikan Juanita mengenai mutu layanan. Untuk aspek ini Juanita mengambil studi kasus Kota Medan. Upaya yang sudah dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kota Medan adalah membentuk tim anti fraud yang saat ini telah melaksanakan instrumen regulasi yang ada ke sarana pelayanan kesehatan namun belum mencakup keseluruhan RS, baru sampel saja. Kemudian diberikan peringatan I, II kemudian perlu diputus atau tidak. Kompetensi yang dimiliki SDM dalam melakukan monitor masih kurang, harus lebih banyak aplikasi. Kemudian pedoman pencegahan kecurangan, dibuat oleh Dinkes Kota Medan sendiri karena belum ada standa nasional. Hasil keseluruhan dari aspek tata kelola, ekuitas dan mutu layanan di Provinsi Sumatera Utara belum tercapai.

Sesi 2: dr. Alwi Mujahit Hasibuan, M.Kes – Kadinkes Prov. Sumatera Utara

Alwi menjelaskan mengenai substansi utama dari Perpres No. 64 Tahun 2020, bahwa PBI menjadi single dan dibayarkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kemampuan fiskal daerah. Tindak lanjut yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah pasca disahkannya peraturan terebut adalah membayarkan iuran JKN untuk PBPU kelas 3 pada bulan Juli s/d Desember 2020.

Persiapan yang dilakukan pada 2021 untuk Dinkes Provinsi Sumut adalah memilah data JKN yang akan dibiayai Pemda berdasarkan kriteria -kriteria tertentu, yang pertama memenuhi kriteria sebagai orang yang fakir, miskin dan/atau tidak mampu, kemudian pemda juga akan berkonstribusi dalam pembayaran iuran peserta PBI sesuai kapasitas fiskal daerah, lalu yang ketiga mengallokasikan anggaran iuran PBI untuk dua jenis peserta JKN yaitu PBI dan PBPU kelas 3, dan yang terakhir ketentuan kontribusi Pemda pada iuran peserta akan diatur dengan Permenkeu.

Alwi juga memberikan data peserta JKN/KIS per Maret 2021, ada sebesar 11,4 juta jiwa yang menjadi peserta yang terbagi dalam PBI (APBN/APBD Prov/Kab/Kota) dan non PBI. Cakupan kepesertaannya setara dengan 75,37%. Menurut Alwi, data yang diambil sejak 2019 menunjukkan peningkatan walau sempat ada kenaikan iuran. Pada tahun 2021 ini terdapat keterbatasan Alokasi Dana Jaminan Pemeliharaan Kesehatan PBI di Provinsi Sumut sehingga kepesertaan tersebut menjadi non-aktif. Otomatis hal ini membuat kepesertaan JKN PBI turun menjadi 60%.

Cara pemerintah Provinsi Sumut mengatasi hal ini adalah dengan mengeluarkan alternatif Pembiayaan Jaminan Kesehatan Bagi Non Register lewat SK Gubernur No. 188 Tahun 2020 tentang Penetapan Pengelola Penyediaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Bagi Non Register tahun 2020. Pembiayaan ini diperuntukkan bagi masyarakat yang belum ter-cover oleh BPJS karena kurang memenuhi persyaratan kepesertaan. Pelayanan kesehatan yang ditanggung dalam skema ini adalah pelayanan kesehatan di Rumah Sakit yang bekerjasama dengan Dinkes Provinsi Sumatera Utara yang dibuktikan dengan Perjanjian Kerja Sama antara dua belah pihak.

Sesi 3: Prof. dr. Ascobat Gani, MPH.m Dr.PH. – Guru Besar FKM UI

Ascobat memberikan tanggapan dari beberapa sisi, yaitu pada aspek ekuitas dan transparansi penggunaan data bersama. PBI merupakan beban yang harus ditanggung bersama - sama antara pusat dan daerah. Terlebih PBI yang berada di level kabupaten, karena 90 persen dana transfer itu berasal dari pusat dan hanya sekitar 10 persen saja yang berasal dari PAD untuk memberikan subsidi di daerah.

Ascobat juga menanggapi mengenai data yang ditampilkan, karena dari 2019 maka cukup banyak perubahan yang harus diperhatikan. Seperti aspek pandemi yang mempengaruhi dari segi kepesertaan, jika banyak peserta yang di PHK kemudian menjadi miskin maka datanya harus diperbarui berapa persen yang terkena PHK dan menjadi kelompok PBI. BPJS Pusat memang mencanangkan kebijakan soal cicilan iuran, namun belum tentu hal ini dapat diimplementasikan. Perlu ada strategi untuk menangani peningkatan peserta dari segmen PBI.

Kemudian dari segi ekuitas, Ascobat memberi masukan supaya ketimpangan yang digambarkan oleh Juanita dapat lebih detil lagi apakah menunjuk pada kesenjangan dari sebaran FKTL atau juga termasuk FKTP. Sebaran SDM Kesehatan yang menjadi perhatian dari evaluasi ini juga perlu untuk ditambahi mengenai strategi apa yang digunakan oleh Prov. Sumatera Utara untuk menanganinya, misal dengan insentif atau kerja sama. Hal ini harus dijelaskan karena bisa memperlihatkan utilitasi layanan dan bisa menjelaskan soal disparitas dalam layanan.

Pembahasan dilanjutkan dengan saran untuk menambahkan data soal TKMKB. Di Indonesia sendiri belum ada standar layanan dalam penyelenggaraan JKN yang mana melanggar undang-undang No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN. Disitu disebutkan bahwa penyelenggaraan JKN harus dibarengi dengan layanan yang sudah terstandarisasi, namun hal ini belum mungkin untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, pada saat kepemimpinan Menteri Kesehatan Nila F. Moloek dulu disiasati agar setiap rumah sakit memiliki Panduan Pelayanan Klinis masing-masing. Barangkali hal ini bisa digunakan oleh Dinkes Prov. Sumatera Utara, supaya dihimpun semua rumah sakit yang sudah memilki standar dalam bentuk PPK. Perlu juga dilihat aspek akreditasi, sehingga aspek pelayanan dan mutu bisa seimbang.

Terakhir Ascobat membahas mengenai transparansi data. Menurutnya Dinkes berhak atas setiap data karena merekalah yang berkuasa di daerah tersebut. Tentu bukan semua data yang diberikan, harus disepakati data apa saja yang perlu diberikan. Kemudian, perlu ada strategi selanjutnya untuk menentukan manfaat dari data tersebut. Sebuah data bisa saja diterjemahkan untuk mengajak masyarakat hidup sehat dalam Upaya Kesehatan Masyarakat.

Sesi 3: dr. Meriahta Sitepu, MARS.- Komisi E DPRD Provinsi Sumatera Selatan

Meriahta merpakan perwakilan dari Komisi E DPRD Provinsi Sumatera Utara. Meriahta lebih menekankan soal masalah yang diterima oleh DPRD dari masyarakat di Provinsi Sumatera Utara. Pertama, soal rasio dokter spesialis dan dokter umum yang tidak seimbang dan merata persebarannya. Kemudian yang kedua kenaikan iuran yang diimplementasikan pada 2020. Ketiga mengenai data yang tidak lagi valid dan terdapat sekitar 240.000 jiwa yang tidak ter-cover BPJS Kesehatan.

Hal ini pernah didiskusikan dengan Dinkes Provinsi Sumatera Utara karena seharusnya masyarakat yang menjadi penghuni panti lebih membutuhkan jaminan ini justru tidak mendapatkan hal tersebut. Mayoritas masyarakat di Provinsi Sumatera Utara masuk ke dalam segmen PBI. Selanjutnya transportasi dan akses ini menjadi hambatan untuk distribusi fasilitas kesehatan dan SDM Kesehatan. Menurut Meriahta perlu ada verifikasi data untuk melihat mana masyarakat yang mampu dan tidak mampu kembali.

Sesi 4: dr. Mariamah, M.Kes – Deputi Direksi Wilayah Sumatera Utara dan DI Aceh

Mariamah menyampaikan per 31 Maret 2021 cakupan kepesertaan JKN mencapapai 75,55% dari total penduduk dibanding Aceh yang sudah 100%. Ada dua daerah di Sumatera Utara yang telah mencapai UHC yaitu Kabupaten Pakpak Barat dan Sibolga Utara. Capaian ini menurut Mariamah tidak terlepas dari dukungan penuh pemerintah daerah. Setelah adanya Inpres No. 8 Tahun 2018 tentang Optimalisasi Program JKN, Gubernur langsung menindaklanjuti dengan mengeluarkan Ingub No. 188 Tahun 2018 tentang Optimalisasi Program JKN yang cakupan optimalisasinya tidak hanya PBI tapi seluruh segmen yang ada.

Mariamah juga menjelaskan bahwa komposisi PBI APBN yang tersedia di Provinsi Sumatera Utara sebesar 41%, kemudian PPU 26%, PBPU 18% dan PBPU yang dibayarkan oleh Pemda adalah 12% dan yang bukan pekerja sebesar 3%. Ada satu lagi segmen yang juga dapat membantu prosentase kepesertaan lebih baik lagi yaitu PPU-BU atau PPU yang menerima upah dari Badan Usaha. BPJS Provinsi Sumatera Utara menjelaskan bahwa posisinya didukung salah satu lembaga yang membantu pendataan terhadap segmen PPU-BU tersebut dan akan segera berjalan. Selain itu, dengan bergantinya kepemimpinan di Kota Medan terdapat program 100 hari dari Walikota agar target UHC ini tercapai pada bulan Agustus. Perkiraannya jika target ini berhasil tercapai, maka tambahan kepesertaan bisa mencakup hingga 85%.

Reporter: Eurica Wijaya

Link terkait